Tuesday, 3 November 2015

Rusia Berlayar Kembali untuk Memastikan Keamanan Maritim Indonesia

Dengan memasok perangkat marinir beroktan tinggi untuk Indonesia, Rusia tak hanya memperkuat cengkeramannya di Asia Pasifik, tapi juga berkontribusi secara signifikan bagi keamanan jangka panjang negara kepulauan tersebut.


Pada Mei 2014, ketika Presiden Indonesia Joko Widodo naik jabatan, ia mengulang ajakannya untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai negara maritim dan menggaungkan kembali slogan Sansekerta, Jalesveva Jayamahe atau “Di Laut, Kita Jaya”.

“Kita melupakan laut, samudera, selat, dan teluk terlalu lama,” katanya. “Ini waktunya untuk menyadari merealisasikan ‘Jalesveva Jayamahe’, moto yang digaungkan oleh leluhur kita di masa lalu.”

Jokowi menyebutkan bahwa untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang hebat, Indonesia harus memiliki hati Cakrawarti Samudera, istilah Sansekerta lainnya yang berarti Kaisar Laut.

Jokowi tak mengada-ada. Indonesia memiliki lingkungan strategis yang kompleks baik secara internal maupun eksternal. Tema dominan di area Asia Timur adalah mengurai sengketa wilayah yang mengancam stabilitas regional. Di saat yang sama, pembajakan maritim di perairan Indonesia sungguh mengkhawatirkan selama berpuluh-puluh tahun. Berdasarkan beberapa perkiraan, negara ini setiap tahunnya kehilangan hampir tiga miliar dolar AS dari penebangan liar dan delapan miliar dolar AS dari penangkapan ikan liar. Jelas, Indonesia sungguh membutuhkan Angkatan Laut yang kuat.

Koneksi Rusia

Sang presiden baru membangun koneksi dengan sejumlah negar Asia Timur serta kekuatan nonregional lain untuk memperkuat pertahanan negara. Rusia salah satunya. Hubungan pertahanan Rusia-Indonesia saat ini sama seperti kejayaan masa silam.

Hubungan Rusia-Indonesia mencapai puncaknya pada akhir 1950-an dan awal 1960-an ketika Moskow menyediakan sejumlah perangkat militer untuk Indonesia, membuat pasukan pertahanan negara tersebut menjadi salah satu yang terbaik di Asia Timur.

Antara 1959 dan 1965, Rusia memberi Indonesia sebuah kapal jelajah, 14 kapal penghancur, 14 kapal selam, delapan kapal patroli antikapal selam, 20 kapal misil, serta sejumlah kapal torpedo dan kapal perang. Pasukan marinir Indonesia juga diperkuat dengan kendaraan lapis baja dan amfibi, serta aviasi marinir seperti helikopter ASW dan pembom Il-28.

AL Indonesia sangat senang dengan kapal selam kelas Whiskey mereka yang baru. Kapal tersebut segera dioperasikan untuk melawan Papua Barat Belanda pada 1961-1962, dan melawan pasukan Malaysia serta Persemakmuran Inggris pada konfrontasi 1963-1966.

Namun, masa-masa “bulan madu” tersebut berakhir saat hubungan Rusia-Indonesia membeku kala presiden Indonesia selanjutnya, Suharto, yang antikomunis bersekutu dengan AS.

Kehangatan Pasca-Komunis

Moskow dan Jakarta kembali memulihkan hubungan pada tahun 2000-an. Ingo Wandelt dari Universitas Giessen, Jerman, menulis dalam artikel berjudul “Antara Kepentingan Ekonomi dan Keamanan Nasional: Kembalinya Rusia ke Kepulauan Indonesia”.

“Perkembangan hubungan Rusia-Indonesia merupakan studi kasus yang cocok untuk menggambarkan bagaimana negara bekas kekaisaraan tersebut (Rusia) bangkit untuk menjejakkan kaki kembali di negara kepulauan terbesar yang pernah berada di bawah pengaruh Barat.”
Ia menambahkan, “Kunjungan Presiden Vladimir Putin ke Indonesia pada 6 September 2007, menunjukkan kembalinya Rusia ke negara terbesar di Asia Tenggara. Penandatanganan delapan kesepakatan politik antara kedua negara dalam bidang kerja sama strategis memberi pencerahan dalam kepentingan strategis, baik bagi Rusia maupun Indonesia dalam politik dunia.”

Putin mengenang hubungan manis antara kedua negara dan menyampaikan hal tersebut pada Presiden Yudhoyono. Ia menyebut masa-masa awal 1960-an sebagai “masa keemasan hubungan Rusia-Indonesia.” Hal itu juga menegaskan bahwa hubungan antara kedua negara di bidang persenjataan mengindikasikan bahwa hubungan tersebut tak seutuhnya hanya dalam konteks ekonomi, tutur Wandelt.

Indonesia memasuki abad ke-21 dengan perasaan terabaikan oleh “teman-teman” Baratnya. Ia merasa dikhianati oleh AS, Austarlia, dan negara-negara Barat yang mencoba melepaskan Timor Timur dari Indonesia.

“Masuklah Rusia dengan tawaran yang menarik, kondisi yang menguntungkan, serta pernyataan yang jelas terkait tak akan campur tangan dalam hubungan dalam negeri, dan itu mudah dipahami dampak psikologis tawaran Putin terhadap Indonesia," terang Wandelt.

Kekuatan Raksasa Jakarta

AL Indonesia akan mendapatkan keuntungan terbesar dari membaiknya hubungan Rusia-Indonesia. Indonesia memiliki pasukan laut terbesar di Asia Tenggara, dengan 75 ribu marinir aktif dan lebih dari 150 kapal laut. Selain itu, AL Indonesia juga merupakan salah satu pasukan di wilayah tersebut yang disokong oleh industri pertahanan domestik, korps marinir, serta memiliki misil supersonik serta kapal selam penyerang.

Namun, AL Indonesia sudah mulai “berkarat”. Menurut laporan yang ditulis oleh Iis Gindarsah dari Pusat Studi Internasional dan Strategis yang berbasis di Jakarta, 59 persen aset AL Indonesia telah berusia lebih dari tiga puluh tahun.

Pendanaan merupakan masalah terbesar yang dihadapi Indonesia. Rusia kemudian menawarkan pinjaman lunak untuk memperbaharui armada Indonesia. “Rusia siap menyediakan pinjaman lunak dengan suku bunga rendah untuk membeli perangkat pertahanan,” kata Tubagus Hasanuddin, Wakil Ketua Komisi Pertahanan DPR Indonesia pada 1 Sepetember 2015. 

Hasanuddin berbicara tentang diskusi bilateral pinjaman senilai lebih dari tiga miliar dolar AS bagi Indonesia guna mengakusisi perangkat militer Rusia. Meski detil mengenai perangkat militer tersebut tak dibocorkan, Hasanuddin menyebutkan bahwa pinjaman tersebut diberikan dengan suku bunga yang preferensial.

Perangkat yang diincar oleh Jakarta antara lain empat kapal selam kelas Kilo Rusia dan dua kapal selam kelas Lada yang sedikit lebih kecil. Kapal selam Kilo yang bertenaga disel-elektrik adalah salah satu kapal selam bertenaga konvensional yang dilengkapi dengan persenjataan canggih, termasuk misil antikapal misil jelajah darat. Kapal selam tersebut merupakan salah satu kapal selam konvensional tercanggih di Asia Tenggara.

Meski ada pemotongan anggaran pertahanan tahun depan sebesar 490 juta dolar AS, AL Indonesia mengumumkan pada September 2015 bahwa mereka akan mendapatkan kapal selam kelas Kilo dari Rusia sebagai bagian dari rencana strategis 2015-2019. “Terdapat banyak jenis kapal selam kelas Kilo. Kami belum memutuskan tipe mana yang akan kami beli,” kata juru bicara AL Indonesia Muhammad Zainuddin.

AL Indonesia dilaporkan hendak membeli 12 kapal hingga 2024, dengan demikian potensi Rusia cukup besar di sini. “Sejauh ini, kami memiliki dua kapal selam dan tiga kapal selam kelas Chang Bogo yang masih dibangun di Korea Selatan. Jadi, kami butuh setidaknya tujuh kapal selam tambahan,” tuturnya, menyebutkan bahwa tujuh kapal tersebut kemungkinan kapal selam kelas Kilo.
Kapal selam kelas Kilo Rusia merupakan pembelian terbaru. Pada November 2010, marinir Indonesia membeli 17 tank amfibi BMP-3F dari Russia.

Saat ini, kapal fregat Indonesia Ahmad Yani telah dipasang misil Yakhont supersonik asal Rusia yang mampu menghancrkan kapal dari jarak 300 kilometer. Yakhont, yang merupakan versi ekspor misil P800 Oniks, dapat berlayar dengan kecepatan Mach 2,5 (dua kali lipat kecepatan suara), membuatnya sulit dideteksi.

Pada 2011, kapal fregat AL Indonesia KRI Oswald Siahaan melakukan uji penembakan misil Yakhont dalam latihan di Samudera Hindia. Misil tersebut hanya butuh waktu enam menit untuk melaju sejauh 250 kilometer dan menembak target. Kala itu, mayoritas negara Asia Tenggara, kecuali Vietnam, hanya memiliki kapal selam misil subsonik, dan peluncuran Yakhont menandai terobosan terbaru di wilayah tersebut.

Di Papan Gambar

Meski hubungan Rusia dan Indonesia sedikit tertahan, rencana yang lebih besar telah menanti. Moskow menawarkan diri untuk memperluas kolaborasi industri pertahanan. Menurut laporan Janes, rencana tersebut terpusat pada 'pembangunan skema ofset pertahanan' yang fokus pada transfer teknologi, produksi gabungan komponen dan struktur Indonesia, serta pembangunan layanan perawatan, perbaikan, dan pembongkaran perangkat di negara tersebut.

Menurut Kementerian Pertahanan Indonesia, Duta Besar Rusia untuk Indonesia Mikhail Galuzin telah menyampaikan tawaran tersebut pada Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada 15 Januari 2015. Ini menyusul proposal sejenis yang disampaikan Putin pada Jokowi dalam Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik di Tiongkok pada akhir 2014.

Teka-teki strategis Indonesia adalah apakah Pemerintah Indonesia akan terus melihat keamanan internal lebih penting dari manuver yang terjadi di wilayahnya. Anggaran pertahanan Indonesia saat ini hanya 0,8 persen dari PDB, yang merupakan angka terendah di wilayah tersebut. Moskow berhasil menjejakkan kesepakatan pertahanan dalam konteks ini sebagai tiga kunci indikator perkembangan.

Pertama, hal itu mengukur pengaruh diplomasi Rusia di wilayah tersebut. Kedua, Indonesia yakin bahwa senjata Rusia dapat melakukan tugasnya dengan baik. Seperti yang telah dibuktikan di Suriah, senjata Rusia bekerja dengan sangat baik. Dan terakhir, tak seperti AS yang memberi sanksi militer terhadap Indonesia saat krisis Timur Tengah, Rusia dapat diandalkan untuk memasok suku cadang jika perang pecah di sana.

Jelas, pendekatan Rusia melalui kesepakatan keamanan nasional merupakan hal yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Sebagai kontrak pembelian senjata baru, hal ini juga meniupkan nafas bagi sector pertahanan Rusia dan membantu Rusia menjejakan langkah mantap di wilayah yang paling berkembang di dunia secara ekonomi, dan mereka berkontribusi terhadap keamanan nasional Indonesia jangka panjang.

rbth 

No comments:

Post a Comment