Pada Mei 2014, ketika Presiden Indonesia Joko Widodo naik
jabatan, ia mengulang ajakannya untuk memperkuat posisi Indonesia
sebagai negara maritim dan menggaungkan kembali slogan Sansekerta,
Jalesveva Jayamahe atau “Di Laut, Kita Jaya”.
“Kita melupakan laut, samudera, selat, dan teluk terlalu lama,” katanya. “Ini waktunya untuk menyadari merealisasikan ‘Jalesveva Jayamahe’, moto yang digaungkan oleh leluhur kita di masa lalu.”
Jokowi menyebutkan bahwa untuk menjadikan Indonesia sebagai
negara yang hebat, Indonesia harus memiliki hati Cakrawarti Samudera,
istilah Sansekerta lainnya yang berarti Kaisar Laut.
Jokowi tak mengada-ada. Indonesia memiliki lingkungan
strategis yang kompleks baik secara internal maupun eksternal. Tema
dominan di area Asia Timur adalah mengurai sengketa wilayah yang
mengancam stabilitas regional. Di saat yang sama, pembajakan maritim di
perairan Indonesia sungguh mengkhawatirkan selama berpuluh-puluh tahun. Berdasarkan
beberapa perkiraan, negara ini setiap tahunnya kehilangan hampir tiga
miliar dolar AS dari penebangan liar dan delapan miliar dolar AS dari
penangkapan ikan liar. Jelas, Indonesia sungguh membutuhkan Angkatan
Laut yang kuat.
Koneksi Rusia
Sang presiden baru membangun koneksi dengan sejumlah negar
Asia Timur serta kekuatan nonregional lain untuk memperkuat pertahanan
negara. Rusia salah satunya. Hubungan pertahanan Rusia-Indonesia saat
ini sama seperti kejayaan masa silam.
Hubungan Rusia-Indonesia mencapai puncaknya pada akhir
1950-an dan awal 1960-an ketika Moskow menyediakan sejumlah perangkat
militer untuk Indonesia, membuat pasukan pertahanan negara tersebut
menjadi salah satu yang terbaik di Asia Timur.
Antara 1959 dan 1965, Rusia memberi
Indonesia sebuah kapal jelajah, 14 kapal penghancur, 14 kapal selam,
delapan kapal patroli antikapal selam, 20 kapal misil, serta sejumlah
kapal torpedo dan kapal perang. Pasukan marinir Indonesia juga diperkuat
dengan kendaraan lapis baja dan amfibi, serta aviasi marinir seperti
helikopter ASW dan pembom Il-28.
AL Indonesia sangat senang dengan kapal selam kelas Whiskey
mereka yang baru. Kapal tersebut segera dioperasikan untuk melawan
Papua Barat Belanda pada 1961-1962, dan melawan pasukan Malaysia serta
Persemakmuran Inggris pada konfrontasi 1963-1966.
Namun, masa-masa “bulan madu” tersebut berakhir saat
hubungan Rusia-Indonesia membeku kala presiden Indonesia selanjutnya,
Suharto, yang antikomunis bersekutu dengan AS.
Kehangatan Pasca-Komunis
Moskow dan Jakarta kembali memulihkan hubungan pada tahun 2000-an. Ingo Wandelt dari Universitas Giessen, Jerman, menulis dalam artikel berjudul “Antara Kepentingan Ekonomi dan Keamanan Nasional: Kembalinya Rusia ke Kepulauan Indonesia”.
“Perkembangan hubungan Rusia-Indonesia merupakan studi
kasus yang cocok untuk menggambarkan bagaimana negara bekas kekaisaraan
tersebut (Rusia) bangkit untuk menjejakkan kaki kembali di negara
kepulauan terbesar yang pernah berada di bawah pengaruh Barat.”
Ia menambahkan, “Kunjungan Presiden Vladimir Putin ke
Indonesia pada 6 September 2007, menunjukkan kembalinya Rusia ke negara
terbesar di Asia Tenggara. Penandatanganan delapan kesepakatan politik
antara kedua negara dalam bidang kerja sama strategis memberi pencerahan
dalam kepentingan strategis, baik bagi Rusia maupun Indonesia dalam
politik dunia.”
Putin mengenang hubungan manis antara kedua negara dan
menyampaikan hal tersebut pada Presiden Yudhoyono. Ia menyebut masa-masa
awal 1960-an sebagai “masa keemasan hubungan Rusia-Indonesia.” Hal itu
juga menegaskan bahwa hubungan antara kedua negara di bidang
persenjataan mengindikasikan bahwa hubungan tersebut tak seutuhnya hanya
dalam konteks ekonomi, tutur Wandelt.
Indonesia memasuki abad ke-21 dengan perasaan terabaikan
oleh “teman-teman” Baratnya. Ia merasa dikhianati oleh AS, Austarlia,
dan negara-negara Barat yang mencoba melepaskan Timor Timur dari
Indonesia.
“Masuklah Rusia dengan tawaran yang menarik, kondisi
yang menguntungkan, serta pernyataan yang jelas terkait tak akan campur
tangan dalam hubungan dalam negeri, dan itu mudah dipahami dampak
psikologis tawaran Putin terhadap Indonesia," terang Wandelt.
Kekuatan Raksasa Jakarta
AL Indonesia akan mendapatkan keuntungan terbesar dari
membaiknya hubungan Rusia-Indonesia. Indonesia memiliki pasukan laut
terbesar di Asia Tenggara, dengan 75 ribu marinir aktif dan lebih dari
150 kapal laut. Selain itu, AL Indonesia juga merupakan salah satu
pasukan di wilayah tersebut yang disokong oleh industri pertahanan
domestik, korps marinir, serta memiliki misil supersonik serta kapal
selam penyerang.
Namun, AL Indonesia sudah mulai “berkarat”. Menurut laporan
yang ditulis oleh Iis Gindarsah dari Pusat Studi Internasional dan
Strategis yang berbasis di Jakarta, 59 persen aset AL Indonesia telah
berusia lebih dari tiga puluh tahun.
Pendanaan merupakan masalah terbesar yang dihadapi
Indonesia. Rusia kemudian menawarkan pinjaman lunak untuk memperbaharui
armada Indonesia. “Rusia siap menyediakan pinjaman lunak dengan suku bunga rendah untuk membeli perangkat pertahanan,” kata Tubagus Hasanuddin, Wakil Ketua Komisi Pertahanan DPR Indonesia pada 1 Sepetember 2015.
Hasanuddin berbicara tentang diskusi bilateral pinjaman
senilai lebih dari tiga miliar dolar AS bagi Indonesia guna mengakusisi
perangkat militer Rusia. Meski detil mengenai perangkat militer tersebut
tak dibocorkan, Hasanuddin menyebutkan bahwa pinjaman tersebut
diberikan dengan suku bunga yang preferensial.
Perangkat yang diincar
oleh Jakarta antara lain empat kapal selam kelas Kilo Rusia dan dua
kapal selam kelas Lada yang sedikit lebih kecil. Kapal selam Kilo yang
bertenaga disel-elektrik adalah salah satu kapal selam bertenaga
konvensional yang dilengkapi dengan persenjataan canggih, termasuk misil
antikapal misil jelajah darat. Kapal selam tersebut merupakan salah
satu kapal selam konvensional tercanggih di Asia Tenggara.
Meski ada pemotongan anggaran pertahanan tahun depan sebesar 490 juta dolar AS, AL Indonesia mengumumkan
pada September 2015 bahwa mereka akan mendapatkan kapal selam kelas
Kilo dari Rusia sebagai bagian dari rencana strategis 2015-2019. “Terdapat banyak jenis kapal selam kelas Kilo. Kami belum memutuskan tipe mana yang akan kami beli,” kata juru bicara AL Indonesia Muhammad Zainuddin.
AL Indonesia dilaporkan hendak membeli 12 kapal hingga 2024, dengan demikian potensi Rusia cukup besar di sini. “Sejauh
ini, kami memiliki dua kapal selam dan tiga kapal selam kelas Chang
Bogo yang masih dibangun di Korea Selatan. Jadi, kami butuh setidaknya
tujuh kapal selam tambahan,” tuturnya, menyebutkan bahwa tujuh kapal tersebut kemungkinan kapal selam kelas Kilo.
Kapal selam kelas Kilo Rusia merupakan pembelian terbaru. Pada November 2010, marinir Indonesia membeli 17 tank amfibi BMP-3F dari Russia.
Saat ini, kapal fregat Indonesia Ahmad Yani telah dipasang
misil Yakhont supersonik asal Rusia yang mampu menghancrkan kapal dari
jarak 300 kilometer. Yakhont, yang merupakan versi ekspor misil P800
Oniks, dapat berlayar dengan kecepatan Mach 2,5 (dua kali lipat
kecepatan suara), membuatnya sulit dideteksi.
Pada 2011, kapal fregat AL Indonesia KRI Oswald Siahaan
melakukan uji penembakan misil Yakhont dalam latihan di Samudera Hindia.
Misil tersebut hanya butuh waktu enam menit untuk melaju sejauh 250
kilometer dan menembak target. Kala itu, mayoritas negara Asia Tenggara,
kecuali Vietnam, hanya memiliki kapal selam misil subsonik, dan
peluncuran Yakhont menandai terobosan terbaru di wilayah tersebut.
Di Papan Gambar
Meski hubungan Rusia dan Indonesia sedikit tertahan,
rencana yang lebih besar telah menanti. Moskow menawarkan diri untuk
memperluas kolaborasi industri pertahanan. Menurut laporan
Janes, rencana tersebut terpusat pada 'pembangunan skema ofset
pertahanan' yang fokus pada transfer teknologi, produksi gabungan
komponen dan struktur Indonesia, serta pembangunan layanan perawatan,
perbaikan, dan pembongkaran perangkat di negara tersebut.
Menurut Kementerian Pertahanan Indonesia, Duta Besar Rusia
untuk Indonesia Mikhail Galuzin telah menyampaikan tawaran tersebut pada
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu pada 15 Januari 2015. Ini menyusul
proposal sejenis yang disampaikan Putin pada Jokowi dalam Kerja Sama
Ekonomi Asia Pasifik di Tiongkok pada akhir 2014.
Teka-teki strategis Indonesia adalah apakah Pemerintah
Indonesia akan terus melihat keamanan internal lebih penting dari
manuver yang terjadi di wilayahnya. Anggaran
pertahanan Indonesia saat ini hanya 0,8 persen dari PDB, yang merupakan
angka terendah di wilayah tersebut. Moskow berhasil menjejakkan
kesepakatan pertahanan dalam konteks ini sebagai tiga kunci indikator
perkembangan.
Pertama, hal itu mengukur pengaruh diplomasi Rusia di
wilayah tersebut. Kedua, Indonesia yakin bahwa senjata Rusia dapat
melakukan tugasnya dengan baik. Seperti yang telah dibuktikan di Suriah,
senjata Rusia bekerja dengan sangat baik. Dan terakhir, tak seperti AS
yang memberi sanksi militer terhadap Indonesia saat krisis Timur Tengah,
Rusia dapat diandalkan untuk memasok suku cadang jika perang pecah di
sana.
Jelas, pendekatan Rusia melalui kesepakatan keamanan
nasional merupakan hal yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
Sebagai kontrak pembelian senjata baru, hal ini juga meniupkan nafas
bagi sector pertahanan Rusia dan membantu Rusia menjejakan langkah
mantap di wilayah yang paling berkembang di dunia secara ekonomi, dan
mereka berkontribusi terhadap keamanan nasional Indonesia jangka
panjang.
No comments:
Post a Comment