Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan RBTH, Wakil Menteri Kementerian Koordinasi Maritim Indonesia Arif Havas Oegroseno bicara mengenai tantangan keamanan di Asia Pasifik dan peran Rusia sebagai kekuatan maritim di wilayah tersebut
Sebuah kapal perang Tiongkok menembakkan rudal selama latihan militer bersama antara Tiongkok-Rusia di Semenanjung Shandong, Tiongkok. [Reuters]
RBTH: Apa yang Anda anggap sebagai ancaman tradisional dan nontradisional keamanan maritim di wilayah Asia Pasifik?
A.H. Oegroseno: Ancaman tradisional utama menurut saya adalah sengketa kedaulatan, yang masih kita lihat di wilayah ini. Sayangnya, sengketa tersebut tak selalu diatasi dengan diskusi.
Tentu ada diskusi, lokakarya, seminar, dan konferensi, namun realita langsung berkat lain. Ancaman nontradisional yang paling penting terdapat dua bagian secara umum, ulah manusia dan yang bukan ulah manusia. Ancaman akibat ulah manusia termasuk penyelundupan narkoba, perdagangan manusia, penyelundupan manusia, serta penangkapan ikan secara ilegal. Ada juga masalah penyelundupan senjata di bagian selatan Filipina dan bagian utara Sulawesi. Terdapat konflik di Mindanao.
Masalah tersebut telah berhasil diatasi. Ancaman yang bukan ulah manusia adalah alam. Pemanasan suhu laut, yang sesungguhnya juga merupakan ulah manusia. Meningkatnya level permukaan laut, pengasaman laut, serta perubahan pola cuaca. Hal itu adalah tantangan yang kita hadapi saat ini. Beberapa ancaman tak bisa dikendalikan sendiri. Beberapa di antaranya perlu diatasi dengan kerja sama antarnegara, organisasi internasional, dan pemegang kebijakan.
Arif Havas Oegroseno.
RBTH: Mengenai ketegangan atas sengketa perbatasan maritim di wilayah ini, menurut Anda bagaimana pendekatan yang paling benar untuk menemukan solusi?
A.H. Oegroseno: Semua negara harus melihat isu ini dengan saat hati-hati, penuh pertimbangan, dan komprehensif. Pejabat marinir harus membangun mekanisme yang tak menciptakan kerumitan yang tak diperlukan. Kita harus menanamkan budaya hukum internasional, yakni jika kita menghadapi konflik, kita mendiskusikannya dengan sikap beradab.
Bawa ke pengadilan. Jika Anda tak bisa membawanya ke pengadilan, coba ke arbitrasi. Jika itu tak berhasil, tak apa-apa. Ada negara-negara menghadapi masalah sengketa kedaulatan selama ratusan tahun, seperti di Gibraltar. Namun (Inggris dan Spanyol) masih bisa menciptakan atmosfer saling percaya. Diskusi adalah cara terbaik untuk mengatasi sengketa.
Sesuai Piagam PBB dan Konvensi PBB mengenai Hukum Kelautan, Trakat Persahabatan dan Kerja Sama Asia Tenggara, kita harus menyelesaikan isu ini dengan damai. Kita harus mengimplementasikan trakat tersebut, dan tak kehilangan arah. Pada akhirnya, pertanyaannya sangat jelas: apakah kita lebih suka kekacauan atau perdamaian? Ini bukan waktunya bagi kita untuk kembali menghadapi Perang Dingin.
Dalam Perang Dingin, semua dikelompokkan hitam dan putih, konflik bertemu dengan militer. Pada masa itu, tak ada yang membayangkan seseorang akan menempatkan bom di tubuhnya dan pergi ke pusat perbelanjaan lalu meledakkan diri. Itu terjadi saat ini dan itu bukan ancaman yang bisa dihadapi satu negara sendirian. Lingkungan strategis telah berubah seutuhnya dan kita tak bisa memisahkan hitam dan putih. Kita juga menghadapi kejahatan siber.
Pada masa Perang Dingin, komputer sangat langka. Pengembangan terbaru menciptakan situasi yang memaksa kita semua memiliki mitra. Kita butuh lebih banyak mitra untuk mengatasi sengketa maritim dan membawa perdamaian.
RBTH: Bagaimana Indonesia menanggapi peningkatan jumlah markas angkatan laut dan udara di Asia Pasifik, seperti Cam Ranh Bay, yang menggunakan pesawat Rusia?
A.H. Oegroseno: Kita harus melihat konteksnya. Saya pikir markas militer merupakan refleksi dari trakat. AS berada di Asia karena traktat yang dimiliki dengan sejumlah negara. Kita juga harus memperhatikan wilayah kita sendiri mengenai infrastruktur yang ada. ASEAN memainkan peran penting dalam memediasi kepentingan yang beragam. Elemen yang paling penting dalam keamanan adalah pendirian arsitektur regional yang dapat menstabilkan situasi semacam konflik.
RBTH: Menurut Anda, bagaimana peran Rusia dalam lingkungan keamanan maritim Asia Pasifik?
A.H. Oegroseno: Rusia memiliki peran penting di Asia Pasifik. Rusia hadir dalam Konferensi Asia Timur. Dalam konteks Konferensi Asia Timur, kita mendiskusikan keamanan maritim. Saya juga baru menghadiri Forum Maritim ASEAN dan bertemu dengan kolega dari Rusia, dan kami mendiskusikan beragam isu terkait keamanan maritim di lingkungan kami. Kontribusi Rusia di area ini sangat dinantikan. Saya percaya skenario ini akan bertahan. Rusia merupakan bagian penting mekanisme keamanan Asia.
RBTH: Apakah menurut Anda Rusia bisa berperan sebagai mediator antara Tiongkok dan negara-negara Asia Tenggara mengenai sengketa wilayah di Laut Cina Selatan?
A.H. Oegroseno: Saya rasa tak ada negara tertentu yang bisa menjadi mediator konflik tersebut. Jika kita melihat yurisprudensi konflik kedaulatan wilayah, hanya pengadilan internasional yang dapat menyelesaikan hal tersebut. Fakta menyedihkan mengenai sengketa maritim di Laut Cina Selatan ialah biasanya dalam sengketa wilayah, hanya ada dua negara yang berebut, sedangkan ini ada enam negara. Jadi, ini akan sangat sulit bagi Rusia untuk melakukan mediasi.
Bahkan Indonesia, kami tak ikut bersengketa, namun kami tak berharap bisa menjadi mediator konflik Laut Cina Selatan. Indonesia, Rusia, dan negara-negara lain dapat berperan dalam manajemen konflik. Saya ingin menambahkan konteks untuk pembaca agar memahami konflik ini. Faktanya ialah tak ada negara yang benar-benar melakukan klaim. Tiongkok berkata 'Kami pemilik Laut Cina Selatan'. Pemerintah Vietnam mengklaim diri sebagai pemilik Pulau Paracel dan Spratley. Filipina mengklaim Pulau Spratly. Brunei dan Malaysia mengklaim pulau-pulau berdasarkan lokasinya.
Di pengadilan internasional, tak ada negara yang memiliki klaim yang sangat kuat dan legal. Pandangan Indonesia mengenai masalah ini jelas. Kami meminta semua pihak untuk mengklarifikasi klaim mereka, menyebutkan berapa banyak pulau yang mereka klaim, namanya, koordinatnya, serta landasan hukumnya.
RBTH: belum lama ini ada laporan mengenai ketertarikan Indonesia untuk membeli kapal selam Rusia kelas Kilo. Apa mungkin akan segera muncul kesepakatan dalam waktu dekat?
A.H. Oegroseno: Ini bukan wilayah saya, tapi sejauh yang saya tahu, DPR sedang mendiskusikan anggaran serta perencanaan belanja pertahanan. Kementerian Pertahanan Indonesia akan mengupayakan penyediaan perangkatnya. Namun, saya pikir kebijakan fundamental Indonesia adalah meningkatkan kapasitas produksi domestik kami dalam pertahanan. Kami telah mampu membuat senapan dan mengekspornya. Kami bisa memproduksi enam juta peluru per tahun, untuk penggunaan sendiri dan ekspor.
Kami cukup mandiri. Galangan kapal kami kini membangun rumah sakit apung untuk Filipina. Kami juga berhasil membangun helikopter kami sendiri. Dalam konteks kerja sama internasional, kami terbuka dengan negara yang memiliki teknologi canggih, seperti Rusia. Kami juga mencari negara lain seperti Korea Selatan. Kami membangun kapal selam bersama Korea. Kami hendak membangun kapal fregat siluman dengan pendampingan Korea pada 2017.
RBTH: Rusia dan Indonesia menghadapi ancaman yang sama dari ISIS. Apakah Indonesia berniat bekerja sama dalam koalisi melawan kelompok teroris tersebut?
A.H. Oegroseno: Kami telah bekerja sama dengan Rusia untuk melawan radikalisasi. ISIS memiliki sel jaringan global yang sangat aktif. Kita butuh pemahaman global karena mereka melakukan rekrutmen dari mana-mana. Jumlah warga negara Indonesia yang pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS tak sebanyak dari Eropa. Terdapat sekitar 300 orang dari Indonesia. Kami melihat dari berbagai sudut, khususnya kerja sama intelijen dengan mitra kami.
RBTH: Apakah ada rencana untuk membuat kerangka kerja keamanan maritim bersama di antara negara-negara Asia Pasifik?
A.H. Oegroseno: Tak seperti OSCE atau NATO, tapi kita punya Kementerian Pertahanan ASEAN Plus, dengan melibatkan Rusia, India, Tiongkok, dan AS. Infrastruktur akan datang dari sana.
RBTH