Mengenang 40 Tahun Penerjunan Nanggala V Kopasandha
Ilustrasi, (SINDOphoto).Desingan peluru menghujani anggota Kopassandha saat melakukan penerjunan di Kota Dili, Timor Leste pada 6 Desember 1975 silam.
Beberapa prajurit dari pasukan elite TNI itu selamat, namun beberapa di antaranya terpaksa mendarat di tiang listrik, pepohonan, dan di laut. Bahkan, tidak sedikit yang tewas menjadi martir akibat tertembus peluru dari senjata musuh.
Tercatat, sebanyak 13 prajurit Kopassandha tewas, lima hilang setelah terjun di laut, tujuh prajurit luka-luka. Sedangkan 72 prajurit lainnya batal diterjunkan karena kondisi yang tidak memungkinkan.
Minimnya informasi intelijen mengenai kekuatan persenjataan musuh, kondisi cuaca, lokasi penerjunan menjadi penyebab utama operasi tidak berjalan mulus.
Namun berkat kegigihan dan keberanian para prajurit yang kini disebut Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Kota Dili berhasil dikuasai hanya dalam waktu tiga jam dari tangan Fretilin, kelompok bersenjata yang berideologi komunis.
Begitulah suasana 40 tahun lalu, ketika pasukan Baret Merah berusaha merebut daerah yang pernah menjadi provinsi terakhir Indonesia.
"Serbuan ke Kota Dili saya anggap sebagai tragedi kemanusiaan yang dialami Group Parako Nanggala V. Itu sangat sulit saya lupakan," kenang mantan Komandan Detasemen Nanggala V Kopassandha, Letjen Purn. Soegito saat menghadiri Peringatan 40 Tahun Penerjunan di Kota Dili, di Gedung Chandrasa, Mako Kopassus, Cijantung, kemarin.
Bagaimana tidak, minimnya persiapan membuat prajurit berlatih secara sederhana dengan perbekalan yang tidak memadai.
Bahkan di tengah ketidakpastian mengenai waktu operasi, para prajurit yang saat itu berada di Lanud Iswahjudi, Madiun, tidak mendapat perawatan dan pelayanan semestinya sebagai pasukan yang akan bertempur memertaruhkan nyawanya.
"Sungguh sangat menyedihkan, saya sebagai komandan terpaksa mengambil tindakan dengan menarik uang lauk pauk anggota supaya latihan bisa dilaksanakan. Sebanyak 263 prajurit untuk makan saja harus cari sendiri," tuturnya.
Bahkan ketika waktu penerjunan akan dilaksanakan, para prajurit Kopassandha harus duduk berdesak-desakan selama enam jam penerbangan dengan dibebani perlengkapan seperti, payung utama, payung cadangan, senjata lengkap dan perbekalan seberat total 35 Kg.
"Tentu saja itu menyisakan letih, lelah, frustasi, karenanya begitu pintu pesawat terbuka banyak anggota Kopassandha yang terkejut disambut dengan Desingan peluru musuh," tuturnya.
"Tapi sebagai pasukan yang memang disiapkan, kami tidak pernah menyesali dan menyalahkan siapapun. Kami hanya berharap semua ini bisa jadi pelajaran," imbuhnya.
Pengalaman yang sama juga dirasakan Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan, yang saat itu menjabat posisi sebagai Komandan Kompi A.
"Saya masih ingat semuanya dengan jelas, apa yang namanya perjalanan kita itu. Saya terharu karena saya bisa begini karena prajurit kita yang sudah pergi (gugur)," ucapnya sambil meneteskan air mata.
Diakui oleh Luhut, saat itu semua prajurit dalam kondisi tertekan, dan tegang. Saat terbang menuju lokasi penerjunan prajurit pun harus berdesak-desakan selama enam jam dengan perlengkapan yang cukup berat, sehingga tidak memungkin untuk bergerak.
Bahkan dirinya harus berdiri sekitar satu jam sebelum terjun, sebuah kondisi yang tidak biasa, mengingat penerjun biasanya hanya berdiri selama 10 menit.
"Kami di pesawat begitu keluar dari pesawat bukan karena berani saja tapi juga karena kelelahan. Ada prajurit yang kencing dan buang air di celana karena sudah tidak bisa apa-apa," kenang mantan Dansat Gultor 81 ini.
Meski memiliki keterbatasan, namun operasi dinyatakan berhasil karena tiga sasaran berupa, bandara, pusat pemerintahan dan pelabuhan mampu direbut Kopassandha.
"Saya ingin memberikan pelajaran kepada prajurit-prajurit Kopassus untuk melakukan perencanaan yang baik dan yang paling penting saya pikir adalah spirit pasukan khusus itu tidak pernah menyerah," tandas Luhut.
Sidonews
Menegangkan mendengar cerita nya mas,,
ReplyDelete