Dari kiri ke kanan: kosmonot legendaris Uni Soviet Yuri Gagarin, Nikita
Khruchev, Presiden RI Soekarno, dan Leonid Brezhnev di Kremlin, Moskow,
Juni 1961. Foto: RIA Novosti
Awal Terbukanya Pintu Hubungan Diplomatik
Nama ”Indonesia” sudah dikenal di Uni Soviet lama
sebelum Indonesia merdeka. Dalam buku karangan Aleksander Guber yang
ditulis pada 1933, nama “Indonesia” sudah tercantum. Saat itu, Indonesia
sebenarnya masih disebut Hindia Belanda, namun Uni Soviet memilih
menyebut negara ini sesuai dengan sebutan yang digunakan oleh para
pejuang Indonesia.
Di tengah tekanan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia, sejarah mencatat Uni Soviet, Ukraina, Belarus, dan sekutu-sekutu Uni Soviet di PBB secara konsisten mengecam keras agresi Belanda terhadap Indonesia.
Menteri Luar Negeri Uni Soviet Andrei Vyshinsky. Foto: Wikipedia |
Pada 24 Desember 1949, Uni Soviet menerima informasi
resmi mengenai kesepakatan hubungan Belanda dan Indonesia. Setelah itu,
Menteri Luar Negeri Uni Soviet Andrei Vyshinsky langsung mengirimkan
telegram kepada Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Republik
Indonesia Mohammad Hatta yang berbunyi,
“Atas nama pemerintah
Uni Soviet, saya dengan hormat memberitahukan kepada Anda, sejak
pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949 di Den
Haag, Belanda, pemerintah Uni Soviet memutuskan mengakui kedaulatan dan
kemerdekaan Republik Indonesia dan bersedia membangun hubungan
diplomatik dengan Indonesia.”
Telegram tersebut kemudian dibalas oleh Hatta pada 3
Februari 1950 untuk mengonfirmasi bahwa pemerintah Indonesia telah
menerima pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan dari Uni Soviet dan siap
membina hubungan dipolomatik dengan pihak Soviet. Tanggal telegram yang
dikirim oleh Hatta itu kemudian dikenang sebagai tanggal bermulanya
hubungan diplomatik Indonesia dan Soviet.
Sempat Ditolak AS
Pada akhir 1950-an, Indonesia hendak memodernisasi angkatan
bersenjatanya. Saat itu, angkatan bersenjata Indonesia hanya memiliki
sisa persenjataan dari Perang Dunia
II. Baik dari segi kuantitas maupun kualitas, kekuatan persenjataan
Indonesia tidak memenuhi persyaratan untuk melindungi ribuan pulau yang
tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Ditolak AS, Indonesia kemudian berpaling ke Uni
Soviet. Ternyata, Indonesia tidak hanya mendapatkan apa yang dibutuhkan,
tetapi dengan dukungan Uni Soviet, Indonesia mampu mengembangkan
teknologi dan pengetahuannya di bidang militer.
Uni Soviet memasok banyak peralatan militer
pada Indonesia, mulai dari tank, kapal perang, dan berbagai jenis
pesawat tempur. Tentu saja semua itu tidak gratis. Pemberian tersebut
merupakan bagian dari kredit sebesar satu miliar dolar AS. Namun,
Indonesia telah membayar lunas semuanya pinjaman tersebut pada
pertengahan 1990-an.
Selain memasok peralatan militer, Uni Soviet juga
memberikan pelatihan teknis untuk para tentara Indonesia di akademi
militer di Moskow, Sankt Petersburg, Sevastopol, dan Vladivostok. Rusia juga mengirim seribu instruktur ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Jakarta,
Surabaya, Bandung, dan Madiun untuk melatih tentara Indonesia. Rusia
sadar bahwa sebagai negara baru, militer Indonesia memiliki pengalaman
yang sangat terbatas, terutama terkait pengalaman teknis. Belanda tidak
mewariskan budaya yang berkaitan kemampuan teknis pada rakyat Indonesia.
Padahal, perlu beberapa generasi agar Indonesia dapat benar-benar
menguasai hal tersebut.
Kunjungan Soekarno ke Uni Soviet
Pada 1956, Indonesia dan Soviet memulai kerja sama
bilateral di bidang perdagangan. Presiden RI Soekarno mengunjungi Uni
Soviet untuk pertama kalinya. Sejak itu, hubungan kedua negara terus
berkembang.
Awalnya, perbedaan ideologi politik dan sistem
ekonomi kedua negara sempat membuat hubungan kedua negara tidak berjalan
mulus. Namun, perbedaan tersebut tidak menjadi halangan untuk
memperkuat hubungan bilateral mereka.
Ketika itu, ketegangan terasa di seluruh belahan dunia akibat
pertentangan ideologi antara Blok Barat dan Timur. Selain itu, revolusi
sosialis tengah terjadi di beberapa negara, dan berdampak sangat luas.
Pemerintah Uni Soviet paham bahwa mereka tidak dapat
memaksakan kehendak dalam hal ideologi negara atau mengklaim posisi
dominan terhadap Indonesia. Baik Indonesia maupun Uni Soviet saling
menyadari bahwa kedua negara dapat fokus menjalin kerja sama yang saling
menguntungkan, tanpa mempermasalahkan ideologi politik.
Presiden Soekarno kembali mengunjungi Uni Soviet pada 12 April 1961. Foto: arsip Igor L. Kashmadze
Pasang-Surut Hubungan Dua Sahabat
Beberapa dekade setelah 1950-an, hubungan Indonesia
dan Uni Soviet berkembang secara signifikan. Namun, bukan berarti
hubungan baik kedua negara hanya terkait hubungan militer semata. Uni
Soviet juga banyak bekerja sama dengan Indonesia dalam membangun
infrastruktur sipil, seperti Rumah Sakit Persahabatan di Jakarta,
stadion, dan reaktor nuklir percobaan di Serpong.
Sayangnya, kondisi dalam dan luar negeri Indonesia
tidak mendukung kelancaran proyek-proyek ini. Beberapa proyek terpaksa
ditinggalkan karena ketiadaan dana. Pada masa pemerintahan Presiden
Soeharto, hubungan kedua negara sempat mengalami kemunduran.
Namun, gejolak politik yang sempat terjadi pada masa
itu bukan berarti hubungan kedua negara tidak terjaga. Kedua negara
sadar akan perbedaan ideologinya, namun tetap menjaga hubungan dalam
batas-batas yang wajar.
Kini, 65 tahun telah berlalu sejak Hatta mengirimkan
telegram ke Uni Soviet yang menandai dibukanya pintu kerja sama antara
kedua negara. Hari ini semakin banyak warga negara Indonesia yang
belajar di universitas-universitas di Rusia, begitu pula sebaliknya.
Hubungan baik yang telah terbina ini menunjukkan bahwa sebenarnya
Indonesia menjadi salah satu fokus perhatian Rusia.
Di masa depan, sangatlah penting bagi Indonesia untuk
mencari format baru dalam hubungan internasional. Dalam kaitannya
dengan kerja sama Rusia-Indonesia, hubungan kedua negara harus
berkembang ke level yang lebih tinggi, tidak hanya terbatas pada
hubungan antarpemerintah, tetapi juga pada tataran hubungan masyarakat
sipil.
No comments:
Post a Comment