Saturday, 24 October 2015

Yang Mengusulkan Merah Putih Menjadi Simbol Indonesia Seorang Jurnalis

Ahmad Subardjo (kanan) bersama Bung Karno dan Bung Hatta. Foto: Arsip Nasional Belanda

YANG tak boleh dilupakan sejarah! Orang yang mengusulkan merah putih menjadi simbol bangsa Indonesia itu seorang jurnalis. Namanya Ahmad Subardjo. Dia pula yang mengatur pertemuan di rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Perhimpunan Indonesia--organisasi mahasiswa rantau di negeri Belanda yang ketika itu dipimpin Herman Karwisastro (1921-1922) menggelar rapat umum. 

Dalam rapat tersebut, Ahmad Subardjo, mengusulkan merah putih dijadikan lambang Perhimpunan Indonesia. Usul itu disambut gembira. Tanpa banyak berdebat, seluruh hadirin sepakat.
Dalam buku Kesadaran Nasional yang ditulisnya, Subardjo menceritakan, beberapa bulan sebelum rapat umum itu berlangsung, Pangeran Yogyakarta, Hamengkubuwono VIII diundang ke Belanda. 
Subardjo diminta mendampingi sang pangeran. Di dalam mobil, melihat panji kecil warna merah putih yang dibawa serta pangeran, Subardjo bertanya, "itu perlambang apa?" 
"Di Yogyakarta dikenal gula kelapa, bendera warisan Majapahit," jawab pangeran.

Bagi Subardjo, diskusi ringan dengan sang pangeran, merupakan “sesuatu yang memberi ilham,” tulisnya dalam buku Kesadaran Nasional.

“Sesungguhnya warna merah dan putih sudah dikenal lama oleh orang-orang di Nusantara dari jaman dahulu kala. Menurut penelitian beberapa ahli, penduduk daerah ini menghormati warna ini sebagai lambang keberanian (merah) dan kesucian (putih),” sambungnya. 

Semenjak itu, jadilah merah putih simbol bangsa Indonesia. Sekadar catatan, di muka bumi ini, PI adalah organ pertama yang menggunakan nama Indonesia, kemudian diikuti Partai Komunis Indonesia (PKI) dan lalu Partai Nasional Indonesia (PNI).

Jurnalis
Sewaktu mengusulkan merah putih menjadi lambang PI--kemudian simbol Indonesia--Subardjo merupakan jurnalis Indonesia Merdeka, koran yang diterbitkan oleh PI di Belanda. 

Dunia jurnalistik sudah digelutinya sebelum berangkat sekolah ke Belanda. Tahun 1917, ketika berusia 21, Subardjo sudah menjadi jurnalis koran Wederopbouw yang terbit di Jakarta. 

Semasa menimba ilmu di Belanda, di samping aktif di koran Indonesia Merdeka 1922-1926, dia juga bekerja di Recht en Vrijheid, majalah Liga Anti Imprealis cabang Belanda, 1927-1928. 

Sekembali ke tanah air, dia menjadi jurnalis majalah Timbul, yang terbit di Solo, 1930-1933. 
Pada 1935-1936 Subardjo tinggal di Tokyo, Jepang. Selama itu pula dia menjadi koresponden untuk harian Matahari, yang terbit di Semarang. 

Tahun 1937-1939, dia menetap di Bandung. Di kota kembang ini dia aktif menjadi jurnalis Kritiek & Opbouw, majalah Belanda yang terbit di Bandung. 
 
Tahun 1939 Subardjo pindah ke Jakarta dan menjadi wartawan majalah mingguan Nationale Commentaren, pimpinan Dr. GJS Ratulangie hingga 1942. 

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Subardjo bekerja di Kaigun Bukanfu, kantor penghubung Angkatan Laut Jepang, pimpinan Laksamana Muda Tadashi Maeda sebagai Kepala Biro Riset. 

Sebagaimana diketahui, naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dirumuskan di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. Dan ini semua Subardjo yang baku atur.

Asrama Indonesia Merdeka 
Di kantor Laksamana Maeda, Subardjo turut serta mendirikan sekolah Asrama Indonesia Merdeka.
"Nama Indonesia Merdeka untuk sekolah asrama ini, diambil Subardjo dari nama koran yang pernah diterbitkan Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda," tulis buku Jejak Intel Jepang.   

Kegiatan belajar mengajar di sekolah yang beralamat di Jalan Defencielinie van den Bosch (kini Jalan Bungur Besar No. 56, Senen, Jakarta Pusat) mulai dihelat bulan Oktober 1944. 

Guru-guru yang mengajar di Asrama Indonesia Merdeka; Sukarno (politik), Hatta (ekonomi), Sutan Sjahrir (sosialisme di Asia), RP Singgih (nasionalisme dari segi kebudayaan), Sanusi Pane (sejarah Indonesia), Suwondo (sejarah pergerakan nasional Indonesia), Iwa Kusuma Sumantri (hukum kriminil), Muhammad Said (pendidikan dan kebudayaan). 

Subardjo sendiri mengajar hukum internasional. Subardjo menunjuk Sunata sebagai kepala sekolah. Sunata merupakan nama samaran Wikana, tokoh muda yang kemudian hari memimpin aksi penculikan dan memaksa Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. 
Hampir seluruh siswa Asrama Indonesia Merdeka aktif juga di asrama pemuda Menteng 31.
Pada April 1945, sebanyak 30 orang angkatan pertama lulus. Angkatan kedua sebanyak kurang lebih 80 orang mulai menguikuti kursus pada bulan Mei 1945. 

Aktivitas di Asrama Indonesia Merdeka berhenti ketika kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Sebagian besar orang-orang yang terlibat di sekolah itu turut serta dalam kancah perjuangan kemerdekaan. Mereka memainkan peran mendirikan Republik Indonesia. 

Menjamin Proklamasi 
16 Agustus 1945, Soekarno-Hatta hilang dari Jakarta. Semua literatur sejarah menulis mereka diculik kelompok pemuda dan dipaksa segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Subardjo-lah yang “membebaskan” keduanya dari tangan pemuda. 

Setelah merayu Wikana buka mulut, Subardjo berangkat ke Rengasdengklok diantar Yusuf Kunto. Tidak semudah itu melepaskan Soekarno Hatta. Kepada para pemuda yang menculik kedua tokoh itu, Subardjo menjamin kemerdekaan Indonesia paling lambat diproklamasikan pukul 12 siang, Jumat, 17 Agustus 1945. 

Dia rela ditembak mati, bila sampai batas waktu yang ditentukan, Indonesia belum diproklamasikan. Alhasil, Subardjo sukses mengatur pertemuan di rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan proklamasi kemerdekaan Indonesia. 

Subardjo lahir di Karawang, Jawa Barat, 23 Maret 1896 dengan nama Teuku Abdul Manaf. Dari namanya bisa ditebak dia orang Aceh. 

Namanya diganti menjadi Ahmad Subardjo Djojoadisuryo demi keamanan karena saat itu Aceh sedang berlawan. (wow/jpnn)
Jpnn 

No comments:

Post a Comment