Rusia Sambut Kunjungan Kejutan Assad, AS Meradang
Presiden Suriah, Bashar al-Assad (kiri) lakukan kunjungan kejutan ke Moskow yang membuat AS meradang. (Sputnik)
Pemerintah Amerika Serikat (AS) meradang dengan sikap Rusia yang menyambut kunjungan kejutan Presiden Suriah, Bashar al-Assad.
Presiden Assad dalam kunjungan langkanya itu mengucapkan terima kasih kepada Presiden Rusia Vladimir Putin yang menolong Suriah. Gedung Putih mengecam Rusia yang mereka anggap menyiapkan “karpet merah” untuk Assad di Moskow. ”Kami melihat sambutan karpet merah untuk Assad, yang telah menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri,” kata juru bicara Gedung Putih, Eric Schultz, seperti dikutip Reuters, Kamis (22/10/2015).
“Itu bertentangan dengan tujuan Rusia yang menyakan akan menciptakan transisi politik di Suriah,” lanjut Schultz. Departemen Luar Negeri AS, mengaku tidak terkejut dengan kunjungan pertama Assad ke luar negeri sejak awal perang sipil di Suriah itu. ”Ini tidak mengherankan bahwa Bashar al-Assad akan melakukan perjalanan ke Moskow, mengingat hubungan Suriah dengan Rusia, dan mengingat kegiatan militer baru-baru ini oleh Rusia di Suriah atas nama Bashar al-Assad,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, John Kirby.
Dalam kunjungan langkanya ke Moskow, Assad disambut Presiden Putin. Dia mengucapkan terima kasih kepada Rusia untuk dukungan militer Kremlin dalam mempertahankan kedaulatan wilayah Suriah. ”Teroris akan menduduki wilayah yang jauh lebih besar jika tidak ada bantuan militer Rusia," kata Presiden Assad. ”Satu-satunya tujuan bagi kita semua adalah rakyat Suriah yang ingin melihat masa depan negara mereka,” lanjut Assad. (mas)
AS Cs Marah Besar Rusia Buat Langkah Mengerikan
Kunjungan kejutan Presiden Suriah Bashar Assad ke Moskow dinilai sebagai indikasi bahwa pemimpin Suriah itu jadi lebih percaya diri di panggung dunia karena dibela Rusia. Menurut para analis politik dan perang, kunjungan Assad itu telah membuat Amerika Serikat (AS) dan sekutunya di NATO marah besar. ”Kami melihat Rusia mengambil peran kepemimpinan di panggung internasional,” kata analis geopolitik Patrick Henningsen kepada Russia Today, semalam. Dia menekankan bahwa upaya Barat untuk mengalahkan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) telah “menyeret tanpa hasil yang konklusif”.
“Rusia pada dasarnya ada di pihak bawah tanah yang telah berlangsung selama empat tahun,” kata Henningsen mengacu dukungan Kremlin untuk rezim Suriah sejak awal perang sipil di Suriah. ”Negara-negara seperti AS, Turki, Yordania dan sekutu NATO seperti Inggris dan Prancis telah mampu beroperasi dalam bayang-bayang. Rusia pada dasarnya menerobos dan menyalakan lampu,” ujarnya. ”Mereka sangat marah di Washington dan masih membuang amarah, dan mengatakan Rusia telah membuat langkah yang mengerikan,” imbuh Henningsen.
Dia berpendapat bahwa AS sejatinya ingin sekali melihat Rusia sama seperti saat berada di Afghanistan yang mengalami kekalahan di masa lalu. Hanya saja, operasi militer Rusia di Suriah kali ini sangat berbeda dibanding saat mereka beraksi di Afghanistan. ”Karena Rusia telah diundang oleh pemerintah yang terpilih secara demokratis hukum di Damaskus,” kata Henningsen, mengacu pada permintaan resmi Presiden Assad. Henningsen mengatakan bahwa jika Barat benar-benar serius menangani ancaman teroris, mereka akan bekerja dengan pemerintah Assad. Sebab, kekuatan darat mereka memiliki dasar intelijensi.
”Ini adalah apa yang Rusia lakukan. Negara ini baru saja pergi dan telah bekerja dengan pemain kunci yang mereka butuhkan untuk bekerja,” imbuh dia. Henningsen menambahkan bahwa dengan 22.000 bom yang dijatuhkan koalisi AS terhadap basis ISIS dalam 13 bulan terakhir, seharusnya kelompok itu sudah lenyap. Suriah Ingin Dipecah Pakar Timur Tengah, Willy Van Damme, mengatakan bahwa AS dan sekutu Barat serta Arab-nya telah berada dalam kekacauan yang lengkap. Mereka, kata, Damme, kini saling berdebat satu sama lain.
“Beberapa dari mereka ingin membagi Suriah, sedangkan yang lain ingin menaklukkannya seperti Prancis, Turki yang ingin bagian dari Suriah utara dimasukkan dalam semacam Kekaisaran Ottoman dengan ‘Sultan’ (Recep Tayyip) Erdogan.” Daniele Ganser, seorang peneliti perdamaian dan ahli NATO, mengatakan strategi Pentagon dalam perang melawan ISIS dan sekaligus mendukung militan yang melawan Assad sama sekali tidak bekerja.
“Pentagon selalu mengatakan, 'Kami tidak ingin menjatuhkan senjata ke ISIS,' dan mereka selalu mengatakan mereka tidak mendukung musuh radikal Assad. 'Kami mendukung musuh moderat Assad’,” kata Ganser menirukan klaim AS selama ini. ”Ini selalu menjadi perbedaan yang sangat sulit untuk, membuat kami paham, kami memiliki orang-orang di Irak yang berjuang di gadis depan bertahun-tahun lalu dan mengatakan, 'Ada senjata yang dijatuhkan oleh Inggris dan AS' dan senjata itu jatuh ke tangan ISIS," imbuh Ganser. (mas)
Rusia Nilai Sikap AS Soal Kunjungan Assad Berlebihan
Rusia menilai sikap Amerika Serikat (AS) terkait kunjungan Presiden Suriah Bashar al-Assad ke Rusia telalu berlebihan. (Itar-tass)
Rusia menilai sikap Amerika Serikat (AS) terkait kunjungan Presiden Suriah Bashar al-Assad ke Rusia telalu berlebihan. Negeri Beruang Merah itu benar-benar mengaku kecewa dengan sikap yang ditunjukan oleh AS.
"Kami hanya bisa menyesali bahwa Washington melihat dengan kecurigaan dan permusuhan upaya kami, yang dilakukan pada tingkat tertinggi dengan tujuan untuk menyelesaikan krisis, yang sebagian besar dari kebijakan dan kekeliruan AS di Timur Tengah," Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Ryabkov saat melakukan kunjungan kerja ke Argentina, seperti dilansir Itar-tass pada Kamis (22/10).
Seperti diketahui, Gedung Putih mengecam Rusia yang mereka anggap menyiapkan “karpet merah” untuk Assad di Moskow. Menurut mereka, sikap Rusia yang menerima Assad itu bertentangan dengan tujuan Rusia yang akan menciptakan transisi politik di Suriah. ”Kami melihat sambutan karpet merah untuk Assad, yang telah menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri. Itu bertentangan dengan tujuan Rusia yang akan menciptakan transisi politik di Suriah," ujar juru bicara Gedung Putih, Eric Schultz.
Terkait pernyataan Schultz tersebut, Ryabkov juga tidak luput untuk memberikan komentar. Menurutnya, dalam pembicaraan antara Assad dan Presiden Rusia Vladimir Putin, isu mengenai penyelesaikan konflik melalui jalur politik di Suriah menjadi pembahasan utama. "Selama pembicaraan di Kremlin, penyelesaian konflik di Suriah melalui jalur politik menjadi fokus perhatian. Percakapan terbuka antara Presiden Rusia dengan Presiden Suriah yang sah telah menjadi prioritas utama untuk mencari cara untuk solusi politik," ucapnya. (esn)
sindonews
No comments:
Post a Comment