Panglima Komando Armada Kawasan Barat, Laksamana Pertama Achmad Taufiqoerrochman, menyatakan kinerja TNI Angkatan Laut telah menghapus status kawasan paling rawan tindak kejahatan dari kawasan perairan barat, termasuk Selat Malaka.
Ia berkata, Selat Malaka tidak lagi dapat disamakan dengan perairan Somalia di Afrika yang rawan perompakan. Ia juga mengklaim, tingkat kejahatan di kawasan tersebut menurun hingga 70 persen setelah triwulan pertama tahun 2015.
"Di Selat Malaka, tidak terjadi penyanderaan seperti yang menimpa kapal MV Sinar Kudus di perairan Somalia. Hanya ada pencurian, tidak ada pembajakan kapal," ujarnya di Jakarta, Jumat (23/10).
Menurut Taufiq, penurunan tingkat kejahatan di Selat Malaka tidak lepas dari kerja sama antara Angkatan Laut Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand. Keempat angkatan ini secara rutin menggelar operasi patroli di selat yang menjadi salah satu jembatan perdagangan global tersebut.
"Kami sadar, di laut kami mempunyai ancaman yang sama. Kami tidak akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan itu sendiri," ucap Taufiq.
Ke depan, Komando Armada Barat akan menggiatkan operasi bersama antarnegara itu. Taufiq yang memimpin pembebasan kapal MV Sinar Kudus dalam Operasi Satgas Merah Putih berkata, operasi itu mencakup program Eyes In The Sky dan Intelligence Working Group.
"Kami akan membuka investigasi bersama. Setelah kami menangkap orang dan menginterogasinya, kami akan memberitahu negara lain," kata Taufiq. Ia berkata, hal serupa juga akan dilakukan Singapura, Malaysia dan Thailand.
Status perairan paling berbahaya sejak lama disematkan ke Selat Malaka. Pada buku berjudul Mengawal Perbatasan Negara Maritim, mantan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Tedjo Edhy Purdijatno mengatakan sebelum tahun 2005 tingkat kejahatan di kawasan tersebut sampai pada tahap yang mengkhawatirkan.
Kondisi tersebut menurut Tedjo sungguh miris, mengingat 80 persen lalu lintas ekonomi dan energi negara-negara Asia Timur melalui Selat Malaka. (obs)
No comments:
Post a Comment