Friday, 23 October 2015

Pembelian Pesawat Tempur Sukhoi Diminta Bebas Broker

Super Flanker, Radar cross-section (RCS) yang diklaim lebih kecil oleh Sukhoi dalam generasi Su-35. (KnAAPO)

Rencana pemerintah membeli pesawat Sukhoi jenis terbaru SU-35 pada tahun 2016 ini mendapat respons beragam dari publik. Direktur Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengungkapkan, rencananya Kementerian Pertahanan (Kemenhan) akan membeli sebanyak 12 pesawat Sukhoi dengan alokasi anggaran sebesar USD 840 juta. Pihaknya akan meminta Komisi I DPR yang membahas anggaran Sukhoi untuk menolak memberikan stempel persetujuan anggaran pembelian Sukhoi sebesar USD 840 juta.

"Di mana setiap tahun APBN, mulai dari tahun 2016 - 2019 mengalokasi anggaran untuk pembelian sukhoi sebesar USD 200 juta pertahun untuk pengadaan tiga pesawat Sukhoi," ujar Uchok melalui siaran pers yang diterima Sindonews, Kamis (22/10/2015). Dia juga mengingatkan, DPR harus mendorong Kemenhan agar tidak melalui pihak ketiga atau broker dalam pengadaan Suhkoi tersebut. 

"Kalau terus-menerus pengadaan Sukhoi dilakukan oleh PT. Trimegah Rekatama, maka alokasi untuk pembelian Sukhoi setiap tahun sebesar USD 200 juta, maka akan ada potensi kehilangan uang negara sebesar 15-20 persen sebagai imbalan dalam dugaan bentuk fee," tukasnya. Menurutnya, upaya ini bisa dicegah dengan pengadaan Sukhoi dalam skema perjanjian antar negara/pemerintah atau government to Government.

Alasannya, proyek pengadaan Sukhoi nilainya sangat besar, sehingga perlu dihemat dengan menghilangkan peran broker. "Malahan yang ada, adalah dugaan mark up anggaran. Di mana, harga satu Sukhoi dalam alokasi anggaran sebesar USD 70 juta. Maka bisa-bisa Kemenhan membeli dari broker sampai sebesar USD 98 juta," terangnya. 

Beli Sukhoi Lewat Broker, Pengianat Sapta Marga

Super Flanker. (KnAAPO)

Center for Budget Analysis (CBA) sangat menyayangkan bila Kementrian Pertahanan dalam pembelian Sukhoi sebanyak 12 pesawat dilakukan lewat broker. Menurut Direktur CBA Ucok Sky Khadafi, kalau terus menerus pengadaan sukhoi dilakukan oleh PT. Trimegah Rekatama sebagai broker, maka alokasi untuk pembelian sukhoi setiap tahun sebesar USD. 200 juta, ber potensi kehilangan uang negara sebesar 15 – 20 persen sebagai imbalan dalam dugaan bentuk fee. “Jadi, tidak usah lagi melalui perusahaan broker seperti Trimarga Rekatama.

Kalau masih ada prajurit TNI yang mendukung pembelian sukhoi melalui broker, artinya pengianat saptamarga,” ujar Ucok kepada liputanterkini.com di Jakarta, Kamis (22/10) Seperti diketahui, pada tahun 2016 ini, menteri Pertahanan akan tetap membeli Sukhoi Su-35. Meski kondisi keuangan pemerintah belum stabil akibat melemahnya rupiah atas Dolar Amerika Serikat. Menurut Ucok, bila melihat daftar usulan kegiatan pengadaan alusista kemhan/TNI melalui pinjaman dalam negeri untuk tahun 2015 – 2019, pembelian pesawat Sukhoi sebanyak 12 pesawat dengan alokasi anggaran sebesar USD 840 juta.

Maka setiap tahun APBN, dari tahun 2016 – 2019 mengalokasi anggaran untuk pembelian sukhoi sebesar USD. 200 juta pertahun untuk pengadaan 3 pesawat sukhoi. “Dari gambaran diatas, Kami dari CBA (Center for Budget Analysis) meminta kepada komisi satu, DPR, yang saat ini sedang membahas anggaran sukhoi, jangan hanya memberikan stempel menyetujui anggaran untuk pembelian sukhoi sebesar USD. 840 juta,” pintanya. Tetapi yang terpenting, kata Ucok, adalah DPR harus mendorong kementerian pertahanan untuk pengadaan sukhoi ini jangan melalui pihak ketiga atau melalui broker seperti yang pernah dilakukan oleh PT. Trimarga Rekatama.

“Untuk itu DPR harus mendorong kementerian pertahanan dalam pengadaan sukhoi ini dalam skema perjanjian antara negara atau G to G,” tandasnya. Pasalnya, kata Ucok, proyek pengadaan sukhoi nilainya besar sekali, dan kalau tetap melalui broker, maka tidak ada penghematan dalam pembelian sukhoi. Malahan yang ada, adalah dugaan mark up anggaran. “Dimana, harga satu sukhoi dalam alokasi anggaran sebesar USD.70 juta, maka bisa bisa kemhan membeli dari broker sampai sebesar USD. 98 juta,” ungkapnya. Untuk itu, Ucok meminta panglima TNI, dan TNI AU, dalam mendukung pembelian sukhoi harus melalui perjanjian antara negara, bukan melalui broker.

"Karena perwakilan sukhoi ada juga di Indonesia, yakni JSC Rosoboronexport Rusia,” jelasnya. Seperti di ketahui, Rencana pengadaan satu skuadron Sukhoi Su-35 merupakan program yang dicanangkan TNI pada masa kepemimpinan Jenderal Moeldoko. Pesawat-pesawat asal Rusia itu ditargetkan akan menggantikan satu skuadron F5 Tiger yang usianya semakin uzur. Maret lalu Pusat Penerangan Mabes TNI menyatakan, proyek pengadaan ini telah melalui pembahasan Dewan Penentu dan Pengadaan di level angkatan dan Dewan Kebijakan Penentuan Alut dan Alutsista di tingkat Mabes.

Mayor Jenderal Fuad Basya yang kala itu menjabat sebagai Kepala Puspen Mabes TNI menuturkan, pembelian satu skuadron Sukhoi Su-35 memang akan dilakukan secara bertahap hingga target minimum essenstial force tahun 2024 tercapai. Sementara itu, Direktur Jenderal Perencanaan Pertahanan Kemhan, Marsekal Muda Muhammad Syaugi, menuturkan pemerintah belum menentukan nominal anggaran belanja alutsista TNI untuk tahun 2016. “Belum diputuskan oleh pemerintah, anggarannya berapa. Kami sudah ingin membeli secepatnya tapi penetapan dari Bappenas belum keluar,” ucapnya.

Terkait jumlah, Kemhan lebih memilih untuk membeli Sukhoi secara bertahap dari pada langsung membelinya dalam jumlah banyak tapi tanpa dilengkapi sistem operasi dan sistem persenjataan yang lengkap. “Mending beli sedikit tapi lengkap dari pada banyak tapi kosongan. Sukhoi yang akan dibeli itu semuanya pesawat baru,” tuturnya. Syaugi juga mengklaim pembelian Sukhoi Su-35 itu tidak akan menyalahi Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014 Tentang Mekanisme Imbal Dagang Dalam Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan Dan Keamanan Dari Luar Negeri yang mensyaratkan adanya imbal dagang, kandungan lokal dan ofset pada transaksi jual beli alutsista antara pemerintah dan negara atau pabrikan asing.

“Jelas ini ada ofset dan imbal dagang. Ini tidak seperti membeli sepeda motor,” tuturnya. Ofset merupakan keharusan pemasok alutsista asing untuk mengembalikan sebagian nilai kontrak kepada pemerintah Indonesia. Sementara itu, imbal dagang merupakan aturan yang mewajibkan adanya timbal balik antara pemerintah dan pemasok alutsista asing. Pasal 5 PP 76/2014 mengatur, persentase imbal dagang, kandungan lokal dan ofset secara keseluruhan minimal harus mencapai 85 persen dari nilai kontrak. Adapun, besaran kandungan lokal dan ofset masing-masing paling rendah 35 persen dari nilai kontrak, dengan peningkatan 10 persen setiap lima tahun. (Lt)

No comments:

Post a Comment