Bakal calon presiden dari Partai Republik Amerika Serikat Donald Trump mengomentari kondisi Timur Tengah saat ini yang memanas. Menurutnya, dunia akan menjadi tempat yang lebih baik jika diktator seperti Saddam Hussein dan Muammar Khadafi masih berkuasa.
Dicetuskan Trump, Timur Tengah "meledak" di sekitar Presiden AS Barack Obama dan mantan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, yang menjadi rival terbesar Trump dari Partai Demokrat untuk pertarungan menuju Gedung Putih.
"100 persen," jawab Trump ketika ditanya apakah dunia akan lebih baik jika Saddam dan Khadafi masih berkuasa di Irak dan Libya. Hal tersebut disampaikan miliarder tersebut dalam acara bincang-bincang "State of the Union" di stasiun televisi CNN, seperti dilansir kantor berita AFP, Senin (26/10/2015). Kedua diktator yang telah meninggal tersebut dilaporkan telah melakukan kekejaman terhadap rakyat mereka sendiri.
Saddam, mantan Presiden Irak, digulingkan dalam invasi AS dan sekutu ke Irak tahun 2003 dan dieksekusi pada tahun 2006. Sedangkan Khadafi yang berkuasa di Libya selama 4 dekade, dilengserkan dan dibunuh pada Oktober 2011 usai perlawanan yang didukung NATO. "Orang-orang kepalanya dipotong. Mereka sedang tenggelam. Saat ini jauh lebih buruk dibandingkan semasa Saddam Hussein atau Khadafi," cetus Trump.
"Maksud saya, lihat apa yang terjadi. Libya adalah musibah. Libya adalah bencana. Irak bencana. Suriah bencana. Seluruh Timur Tengah. Semuanya meledak di sekitar Hillary Clinton dan sekitar Obama. Itu meledak," kata calon favorit Partai Republik tersebut. Trump bahkan menyebut Irak "Harvard terorisme" dan menyarakan negeri itu telah berubah menjadi "tempat pelatihan bagi para teroris."
"Jika Anda melihat Irak beberapa tahun lalu, saya tidak bilang dia (Saddam) orang yang baik. Dia orang yang mengerikan namun itu lebih baik dibandingkan sekarang," tutur Trump. (ita/ita)
Mantan PM Inggris Tony Blair Minta Maaf Atas Invasi Irak
Blair mengakui invasi Irak adalah kesalahan intelijen, membuat negara itu saat ini dirundung konflik, memunculkan kelompok militan seperti Al-Qaidah dan ISIS. (Getty Images)Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair meminta maaf atas invasi Irak yang menurutnya adalah kesalahan besar intelijen. Invasi itu berhasil menggulingkan Saddam Hussein namun Irak hingga kini masih bergelimang dengan konflik, terutama dengan munculnya ISIS yang menguasai sebagian negara itu. Hal ini disampaikan Blair dalam wawancara dengan pembawa acara GPS di CNN, Fareed Zakaria, Minggu (25/10).
"Saya meminta maaf karena intelijen yang kami gunakan ternyata salah, walaupun dia (Saddam Hussein) sering menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri, tapi program (senjata pemusnah massal) itu tidak berada dalam bentuk yang kami kira," kata Blair.
Pernyataan Blair merujuk laporan intelijen yang muncul sebelum invasi pimpinan Amerika Serikat ke Irak tahun 2003. Dalam laporan itu disebutkan Saddam memiliki senjata pemusnah massal, yang menjadi dasar serangan AS dan Inggris ke negara itu. Namun belakangan diketahui, laporan intelijen itu salah. Tapi invasi terlanjur dilakukan, pemerintahan Saddam hancur, dan pemimpin Irak itu digulingkan. Saddam dieksekusi mati dengan cara digantung pada hari Idul Adha tahun 2006.
Lengsernya Saddam tidak juga membuat Irak damai. Peperangan demi peperangan terjadi di negara itu, salah satunya adalah konflik sektarian yang memakan banyak korban jiwa. Berbagai kelompok militan muncul, salah satunya al-Qaeda dan belakangan adalah ISIS. Puluhan ribu warga sipil Irak, lebih dari 4.000 tentara AS dan 179 militer Inggris terbunuh dalam operasi di Irak. Blair mengaku tidak tahu dampak invasi itu akan sangat parah dan berkepanjangan.
"Saya meminta maaf untuk kesalahan dalam perencanaan dan, tentu saja, kesalahan kami dalam memahami apa yang akan terjadi setelah kami menggulingkan rezim." Namun Blair mengaku tidak menyesal dan menolak meminta maaf atas tergulingnya Saddam.
"Saya tidak mampu meminta maaf atas lengsernya Saddam. Saya kira, bahkan hari ini di tahun 2015, lebih baik dia tidak ada di sana dibanding masih ada," ujar Blair.
Bangkitnya ISIS
Blair kepada Zakaria menyadari bahwa kesalahan mereka dalam perang Irak telah membangkitkan ISIS yang kebanyakan petingginya adalah veteran perang Irak atau militan negara itu yang menentang invasi AS.
"Tentu saja, tidak bisa dikatakan kami yang menggulingkan Saddam pada 2003 tidak punya tanggung jawab atas situasi di tahun 2015. Tapi penting dicatat, Arab Spring tahun 2011 kemungkinan juga berpengaruh pada Irak hari ini, dan dua, ISIS punya pangkalan yang kuat di Suriah, bukan Irak," lanjut dia.
Keputusan Blair menyertakan Inggris dalam perang di Irak dikecam banyak pihak. Kesalahan intelijen tersebut dan invasi negara itu dianggap kejahatan perang. Pemimpin oposisi Inggris, Jeremy Corbyn, bahkan mengatakan Blair harus diadili atas kejahatan ini.
Ditanya soal tuduhan itu, Blair berdalih bahwa itu adalah keputusan yang tepat saat itu. "Tindakan itu benar atau salah, semua orang bisa punya penilaian sendiri," tegas Blair. (den)
CNN detik
No comments:
Post a Comment