Menteri Pertahanan Arab Pangeran Muhammad bin Salman (keempat dari
kiri), Presiden Rusia Vladimir Putin (ketiga dari kanan), Menteri Luar
Negeri Sergei Lavrov, dan Penasihat Kepresidenan Yuri Ushakov (kanan)
selama pertemuan di Sochi, Rusia, 11 Oktober 2015. Sumber: TASS
Terhalang oleh penandatanganan kesepakatan antara P5+1
dengan Iran, penandatanganan kesepakatan antara Rusia dan Arab Saudi —
di mana Riyadh menginvestasikan sepuluh miliar dolar AS untuk Rusia, tak
terlalu disorot. Namun kesepakatan ini menciptakan perubahan besar
dalam kebijakan Rusia, mungkin tak kalah penting dengan program ‘pivot
to China’.
“Kesepakatan dengan Arab Saudi menunjukkan kerja sama
terbesar Rusia dan daya tarik modal asing terbesar dalam beberapa tahun
terakhir,” kata Direktur Jenderal Russian Direct Investment Fund (RDIF),
Kirill Dmitriev. “Sebelumnya, investor terbesar dalam kerja sama dengan
RDIF adalah Uni Emirat Arab, yang menginvestasikan dana sebesar tujuh
miliar dolar AS.”
Menurut Dmitriev, tujuh proyek dengan Saudi telah
digaungkan, dan sepuluh kesepakatan diperkirakan akan ditandatangani
pada akhir tahun ini. Riyadh secara khusus tertarik di bidang
infrastruktur, agrikulutur, retail, layanan kesehatan, dan properti.
Kontak Personal
“Hingga saat ini, menteri Saudi selalu berhati-hati dengan
kami. Namun, kontak personal antara Pangeran Mahkota Saudi Muhammad bin
Salman dan Presiden Vladimir Putin di Forum Ekonomi Sankt Petersburg
telah menciptakan pengaruh,” kata Dmitriev. Pakar Rusia lain
menyebutkan, bagi Arab, pertemuan personal antara pemimpin sangatlah
penting.
Putin sejak itu telah beberapa kali menghubungi Muhammad
bin Salman. Kala itu, kehadiran sang Pangeran Mahkota di Sankt Peterburg
adalah sensasi kecil. Lagi pula, Arab Saudi merupakan kunci dari semua
sekutu AS di Timur Tengah, dan dilatarbelakangi kehadiran sanksi AS dan
ketidaksukaan Gedung Putih terhadap Putin, kunjungan tersebut dapat
dianggap sebagai kiprah diplomatik oleh Washington.
Riyadh Provokasi Amerika?
Apa yang ada di balik upaya untuk memperbaiki hubungan
ekonomi dan politik antara kedua negara? Sebagai awal, Saudi sangat tak
puas dengan kesepakatan Iran, yang dibela habis-habisan oleh Presiden AS
Barack Obama di bawah hujan kritik dari Kongres AS yang dikuasai
Republikan. Sepertinya tak lama lagi Republik Islam tersebut akan
berubah dari musuh bebuyutan AS menjadi sekutu utama. Tak heran
Washington terus memuji Teheran yang mengkonfrontasi ISIS.
Sementara, AS sudah mengesampingkan opsi untuk memerangi
pemberontak Houthi yang didukung Iran di Yaman, sedangkan Arab Saudi
bertanggung jawab atas operasi militer tersebut, meski pada skala yang
tak terlalu efektif dan cukup terbatas.
Kepentingan Riyadh di bidang migas juga kondusif untuk
mendekatkan diri dengan Rusia. Tujuannya adalah menyelesaikan masalah
rendahnya haga minyak, namun bukan dalam waktu singkat. Saudi ingin
mencapai pertumbuhan jangka panjang dan stabilitasi. Dan meski tak ada
pembicaraan mengenai ‘konspirasi’ antara Arab Saudi dan Rusia terkait
produksi minyak serpih AS, kerja sama dan koordinasi dengan Rusia di
sektor minyak dapat memberi keuntungan bagi kedua pihak, khususnya jika
Rusia sudah mendapatkan status pengamat (observer) di OPEC, yang dapat
menangkis monopoli AS di pasar minyak dan membuat harga minyak membaik.
Dalam perluasan kerja sama dengan Riyadh, Rusia mempunyai
rencana strategis. Tentu, bagi Rusia, penting untuk memecah lingkup
isolasi global dan mencari mitra baru serta sekutu untuk keluar dari
tekanan sanksi internasional. Namun di saat yang sama, Rusia — yang
memiliki rekam jejak pengaruh di dunia Arab sejak dulu—sepertinya siap
mengubah strateginya di Timur Tengah.
Jika aksi Rusia terbayar, strategi ini dapat menandai titik
balik sesungguhnya di Timur Tengah, dan merupakan bukti yang jauh lebih
solid serta menguntungkan secara ekonomi dan politik, dibanding
integrasi Eurasia yang dipromosikan oleh propaganda Kremlin, yang
menginginkan pendekatan hubungan Rusia dan Tiongkok.
No comments:
Post a Comment