Sunday, 8 November 2015

Seharusnya Indonesia Jadi "Bridge Builders" di Kawasan

Pengamat militer dan intelijen Nuning Kertopati

Dalam pertemuan ASEAN Defence Ministry Meeting (ADMM) Plus atau pertemuan Menhan Se-ASEAN dan mitranya di Kuala Lumpur, Malaysia, 29 Oktober-5 November  2015, seharusnya Indonesia mampu menjadi ‘Bridge Builders’ atau pembangun jembatan bagi terciptanya perdamaian di kawasan. Demikian disampaikan oleh pengamat militer dan intelijen Nuning Kertopati kepada Jurnal Maritim, Jumat, 16/11/2015.
“Indonesia seharusnya bisa memainkan perannya sebagai “Bridge Builders” di kawasan dan mendorong sentralitas ASEAN,” tegas Nuning.

Menurutnya, Indonesia merupakan negara non-claimant states di Laut China Selatan (LCS) yang memiliki pengaruh untuk menetapkan suatu keputusan bersama dalam pertemuan strategis antara Menhan Se-ASEAN itu.

“Tanpa suatu Pernyataan Bersama adalah  hal yang disesalkan dalam pertemuan itu,” ungkapnya dengan heran.

Memanasnya eskalasi konflik di LCS membuat ASEAN menjadi kawasan yang senantiasa diperebutkan pengaruhnya oleh negara-negara besar. Dengan kata lain, ASEAN menjadi tempat tarik menarik kepentingan untuk memperkuat hegemoni para negara adi daya.

“Hal ini menunjukkan sentralitas ASEAN yang semakin pudar dalam menghadapi kepentingan-kepntingan negara besar yang dapat mengancam perdamaian di kawasan,” paparnya.

Lebih lanjut dikatakan oleh mantan Anggota Komisi I DPR RI ini bahwa perjalanan keikut sertaan Indonesia dalam forum itu selalu mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi strategis terkait penguatan kawasan dalam meredakan ketegangan, khususnya di LCS.

“Pernah terjadi dan berhasil diselesaikan upaya itu dengan shuttle diplomacy oleh Indonesia. Kini ditunggu kepiawaian dan kepemimpinan diplomasi Indonesia di kawasan, atau apakah Indonesia hanya mengekor satu kepentingan negara besar tertentu saja?” selorohnya.

Wanita yang aktif juga mengajar di berbagai Perguruan Tinggi itu selanjutnya menegaskan meningkatnya ancaman terhadap keamanan nasional dan kawasan memerlukan strategi pertahanan yang matang, begitu juga dengan strategi diplomasinya.

“Ini adalah esensi ancaman yang ada di kawasan yang selama ini tidak dapat dilihat hanya secara gambling oleh penyusunan strategi pertahanan Indonesia,” keluhnya.

ADMM dihadiri para menteri pertahanan dari 10 negara anggota ASEAN dan rekan-rekan mereka dari negara lain, yakni Australia, Tiongkok, India, Jepang, dan AS.‎ Pertemuan berlangsung seminggu setelah kapal perang AS menantang batas teritorial di sekitar salah satu pulau buatan Tiongkok di kepulauan Spratly, dalam suatu operasi yang disebut patroli kebebasan navigasi.

Tiongkok mengklaim memiliki sebagian besar Laut China Selatan, di mana lebih dari US$ 5 triliun perdagangan global melintas setiap tahun. Vietnam, Malaysia, Brunei, Filipina, dan Taiwan juga melakukan klaim tandingan. Selama ini, Tiongkok keberatan dengan apa yang disebutnya sebagai gangguan luar dalam sengketa Laut China Selatan itu.

AS sebenarnya tidak memiliki posisi pada klaim Laut China Selatan itu. Tetapi, AS bersama sekutunya di ASEAN, seperti Filipina, merasa khawatir dengan aksi Tiongkok yang semakin keras, termasuk membangun pulau buatan di teritori yang disengketakan.

Di sini terlihat sekali pertarungan antara dua negara tersebut dalam ajang pertemuan Menhan Se-ASEAN itu. Sebelum pertemuan, Menhan RI Ryamizard Ryacuddu telah melakukan lawatan ke Tiongkok guna meningkatkan kerja sama pertahanan yang lebih intensif di antara kedua negara.
Termasuk poin pentingnya yang dibahas adalah adanya joint patrol di antara kedua negara yang juga melibatkan negara-negara lain di ASEAN.

Namun, di hampir waktu yang bersamaan, Presiden Jokowi juga melakukan kunjungan ke AS yang kemudian menghasilkan tawaran kepada Indonesia untuk masuk ke dalam Trans Pacific Partnership (TPP). Sehingga muncul asumsi publik yang berfikir Indonesia sedang bermain di dua kaki dan tetap memerankan sebagai pihak netral.

Di akhir penyampaiannya, Nuning mengutarakan dalam perjalanan diplomasi Indonesia selalu berprinsip Non Blok atau lebih dikenal dengan prinsip yang tidak memihak alias netral, namun tetap harus vocal untuk mewujudkan perdamaian kawasan.

“Paling tidak kalaupun netral, harus ada suaranya dong, agar tercipta usulan-usulan yang strategis untuk perdamaian kawasan,” pungkasnya. [AN]

No comments:

Post a Comment