Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menyarankan Sekretariat Negara membeli helikopter kepresidenan milik PT Dirgantara Indonesia (PT DI) di Bandung, Jawa Barat.
BUMN kedirgantaraan ini memiliki lisensi perakitan dan modifikasi helikopter angkut sedang Aerospatiale NAS-330 Puma dan NAS-332 Super Puma. Huruf N dalam nama NAS itu berarti Nurtanio (saat kesepakatan kerja sama ini ditandatangani dengan Aerospatiale Prancis).
"Sesuai dengan amanah UU Nomor 16/2012 tentang Industri Pertahanan, pasal 43, tidak dibenarkan membeli alat pertahanan dan keamanan dari luar negeri selama negara sudah mampu memproduksinya," kata Hasanuddin.
Ia menyebutkan, membeli helikopter jenis Agusta-Westland AW-101 Merlin, yang harganya sekitar 55 juta dolar Amerika Serikat. Sementara helikopter jenis NAS-332 Super Puma buatan PT Dirgantara Indonesia jauh lebih murah, yakni sekitar 35 juta dolar Amerika Serikat.
Katanya lagi, bila helikopter NAS-332 Super Puma diberi perlengkapan tambahan sebagaimana AW-101 Merlin, Sekretariat Negara hanya menambah 5 juta dolar. Uang segitu bisa untuk memasang FLIR (forward looking infra red), chaff and flare dispenser untuk mengecoh peluru kendali, pengacak infra merah, dan sistem peringatan laser.
Katanya lagi, bila helikopter NAS-332 Super Puma diberi perlengkapan tambahan sebagaimana AW-101 Merlin, Sekretariat Negara hanya menambah 5 juta dolar. Uang segitu bisa untuk memasang FLIR (forward looking infra red), chaff and flare dispenser untuk mengecoh peluru kendali, pengacak infra merah, dan sistem peringatan laser.
"Dengan membeli produk dalam negeri, maka negara untung sebesar 30
persen dari harga dasar setidaknya dalam bentuk material dari dalam
negeri. Dan mampu mempekerjakan minimal 700 orang selama setahun ,
dengan investasi skill untuk anak bangsa yang terus berkembang," kata
Hasanuddin.
Sebelumnya, dikatakan Sekretaris
Militer Presiden, Marsekal Madya TNI Hadi Tjahjanto, helikopter baru
kepresidenan itu akan dioperasikan dan dirawat di Skuadron Udara 45 VIP
TNI AU. Ini berarti helikopter itu adalah perlengkapan militer, yang
proses pengadaannya juga tunduk pada UU Nomor 16/2012.
Pada
pasal 43 UU Nomor 16/2012 itu, disebutkan bahwa pengadaan barang dan
jasa pertahanan negara boleh melalui penunjukan langsung dengan sejumlah
prasyarat dan ketentuan yang harus dipenuhi pejabat pembuat kesepakatan
dan pabrikan pembuat.
Yang pokok juga adalah
produk barang dan jasa itu belum bisa dibuat di Tanah Air. Juga di
antaranya adalah transfer teknologi, imbal beli, imbal dagang, kandungan
dalam negeri, dan lain-lain.
Pada kasus
AW-101 Merlin ini, Indonesia sudah menguasai teknologi perakitan dan
pembuatan helikopter angkut sedang dan sudah ada industri nasional
tentang itu. Pun, proses tender pengadaan juga tidak pernah diungkap
kepada publik.
"Sesuai dengan amanah UU Nomor 16/2012 tentang Industri Pertahanan, pasal 43, tidak dibenarkan membeli alat pertahanan dan keamanan dari luar negeri selama negara sudah mampu memproduksinya," kata Hasanuddin.
Antara
No comments:
Post a Comment