Upaya
perusahaan penerbangan asal Amerika Serikat (AS), Lockheed Martin
jauh-jauh datang ke tanah air untuk merayu pemerintah Indonesia membeli
varian terbaru F-16 sirna sudah. Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Udara (TNI AU) menyatakan menolak dan tetap melanjutkan rencana
pembelian Sukhoi Su-35 dari Rusia.
Padahal,
Lockheed Martin menawarkan serangkaian keunggulan dan sangat
menggiurkan. Mulai dari negara pertama yang mengoperasikan F-16 Viper,
hingga biaya operasional terjangkau serta penggunaan teknologi terkini.
Meski tawaran menarik tersebut tak membuat TNI AU bergeming
dari rencana semula. Korps dengan semboyan 'Swa Bhuwana Paksa' tetap
menjalankan rencana awal, yakni membeli Sukhoi Su-35 buatan Rusia untuk
menggantikan F-5 Tiger II yang mulai termakan usia.
Sikap
Indonesia itu menarik perhatian media-media di Rusia. Mereka sampai
mengulas alasan Indonesia yang memilih merapat ke Blok Timur dari pada
kembali ke pelukan AS dan sekutunya.
Terpilihnya Su-35 sebagai armada pengganti F-5 Tiger II
ini langsung menjadi pusat perhatian. Bahkan, Rusia sampai menganalisa
sejumlah alasan yang membuat TNI AU memilih merapat ke Rusia
dibandingkan kembali melirik jet tempur buatan AS.
Sejak
2013, lima jet tempur Su-27 dan 11 Su-30 telah memperkuat TNI AU, upaya
untuk mendatangkannya dimulai sejak pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri. Padahal, di saat bersamaan, Indonesia juga masih
mengoperasikan 12 pesawat F-16 Fighting Falcon yang dibeli pada 1990-an.
"Indonesia
melirik pesawat Rusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sebab, 12 F-16A/B
dan 16 F-5E/F tak bisa dirawat akibat aksi embargo AS," tulis majalah
Rusia, Russia Beyond The Headlines (RBTH).
Embargo
ini dilakukan atas desakan Australia akibat bentrokan di Timor Timur
pascajajak pendapat yang akhirnya melepas provinsi tersebut menjadi
negara yang merdeka. Pemerintah AS mengamini permintaan tersebut dan
menuding Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM.
Untuk
mengatasi embargo itu, Indonesia mendekat ke Rusia dan menandatangani
kontrak kerja sama sebesar USD 192 juta lewat Rosoboronexport. Rencana
pembelian makin dikuatkan lewat penandatangan perjanjian senilai USD 300
juta empat tahun setelahnya.
Di tahun yang sama, hubungan Jakarta dan Washington
mulai membaik. Namun, kondisi ini tak membuat Indonesia mengalihkan
perhatiannya untuk kembali mendatangkan jet tempur buatan AS.
"Tentunya
itu bukan merefleksikan orientasi politik Indonesia. Pembelian itu
benar-benar terjadi karena Indonesia tertarik dengan pesawat Sukhoi,"
ujar seorang pengamat hubungan internasional Martin Sieff.
Keuntungan
lainnya, komponen yang dimiliki Su-35 juga bisa digunakan varian
sebelumnya, yakni Su-27 dan Su-30 yang sudah dimiliki Indonesia
sebelumnya. Apalagi secara performa, pesawat tersebut dapat bersaing
ketat dengan F-22A Raptor buatan AS.
"Dengan kemampuan itu, ditambah kebijakan Rusia untuk menghindari kondisi politik yang mempengaruhi penjualan senjata, membuat Indonesia berpaling ke Rusia sebagai menyuplai senjata."
Kehadiran
Su-35 ke Indonesia ini bisa mengubah peta kekuatan di kawasan Asia
pasifik. Bahkan, diyakini mampu menandingi para penerbang F-18 Hornets
Australia ketika berhadapan di udara.
"Kedatangan
seri terbaru dari Su-27SK dan Su-30MK dari negara terbesar telah
mengubah wajah, di mana F/A-18A/B/F sudah kalah kelas dari seluruh
parameter performanya telah melebar," tulis Air Power Australia.
Merdeka
No comments:
Post a Comment