Mengincar Boeing F/A-18E/F untuk menggantikan F-5E Tiger II dan MiG-29
Latma LIMA 2011 [AusDoD]
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) telah mengumumkan secara resmi rencana pembelian Sukhoi Su-35 dari Rusia. Pembelian tersebut dilakukan untuk menggantikan pesawat F-5 Tiger II yang mulai uzur termakan usia, sehingga tak bisa lagi ditingkatkan kemampuannya sesuai perkembangan zaman.
Selain Indonesia, rencana pergantian pesawat juga dilakukan pemerintah Malaysia. Bedanya, mereka kini mengincar Boeing F/A-18E/F untuk menggantikan F-5E Tiger II dan MiG-29. Apalagi kini Malaysia sudah mengoperasikan delapan pesawat F/A-18D Hornet sehingga diyakini sudah saatnya pilot mereka naik kelas ke F/A18E/F.
Jika pembelian itu dilaksanakan, maka bakal terjadi perubahan besar dalam penguasaan udara atau air superiority di kawasan Asia Tenggara. Tapi, mana yang lebih hebat, F-18 Super Hornet atau Su-35 Flanker-E? Pesawat F/A-18E/F dan Su-35 merupakan jet tempur multiperan yang bisa dipakai untuk pertempuran udara, penguasaan udara, pengintaian hingga pemboman. Meski begitu, harga per unit untuk Su-35 lebih mahal USD 9,8 juta jika dibandingkan produk buatan perusahaan penerbangan asal AS, Boeing seharga USD 55,2 juta.
Meski harganya cukup mahal, namun biaya operasional yang digunakan untuk menerbangkan satu Su-35 lebih murah dibandingkan dengan Super Hornet. Di mana, Su-35 hanya menghabiskan Rp 183 ribu setiap mil laut yang dilalui. Angka itu lebih murah Rp 24 ribu untuk setiap mil laut. Untuk performa, Su-35 lebih unggul dibandingkan Super Hornet. Pesawat yang dirakit perusahaan penerbangan asal Rusia, Sukhoi ini bisa menjangkau 3.600 km dengan kecepatan penuh Mach 2.25 atau 2.390 km per jam serta mencapai ketinggian maksimal 59.100 kaki.
Sedangkan, kecepatan yang dimiliki Super Hornet hanya mencapai Mach 1.8 atau 1,915 km per jam. Pesawat ini hanya mampu menempuh jarak sejauh 2.346 km dan ketinggian maksimal yang dicapai tak lebih tinggi dari 50 ribu kaki. Salah satu keunggulan yang dimiliki Su-35 adalah terpasangnya radar Irbis-E yang bisa mengendus keberadaan Hornet atau 30 pesawat tak dikenal lainnya, dengan tembakan radar mencapai 120 derajat dalam jarak 400 km lebih. Keberadaan sistem pencari dan pendeteksi infra-merah (IRST) memiliki jarak jangkau hingga 80 km.
Peralatan ini membuat jet tempur ini dapat mendeteksi, memilih dan mengintai empat target di darat serta dua target bergerak. Sementara itu, Boeing membangun Super Hornet untuk memberikan keunggulan di udara. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan sistem avionik dengan kemampuan senjata. Salah satu elemen yang mengalami perubahan mendasar adalah sistem radar yang dimilikinya, yakni Raytheon's AN/APG-79 AESA.
Mereka mengklaim sistem radar ini menjadi yang terbaik di dunia. Secara umum, sistem radar ini membuat pesawat ini mampu lebih cepat mendeteksi jet tempur lawan. Tanpa menyebutkan jarak deteksi, APG-79 telah mengalami peningkatan pengawasan dan dukungan terhadap pertef-mpuran udara dan serangan ke darat. Dengan desain yang dimilikinya, radar ini bisa mengakomodasi berbagai teknologi terbaru.
Radar ini juga dilengkapi Radar Penerima Peringatan (RWR) yang bisa mendeteksi bahaya dari jarak yang cukup jauh. Dengan adanya peringatan yang diberikan, RWR ini membuat pilot Super Hornet mempersiapkan diri untuk menghindari tembakan musuh. Dengan teknologi tersebut, membuat kemampuan Super Hornet sejajar dengan pesawat siluman F-22 dan F-35. Sejak diproduksi, Super Hornet sudah digunakan Angkatan Laut AS atau US Navy dan sudah beroperasi sejak sekitar tujuh tahun.
Pesawat ini sempat melakukan pengamanan udara di zona larangan terbang dalam perang Irak, dan merupakan bagian dari Kapal Induk USS Abraham Lincoln. Meski memiliki banyak keunggulan, banyak pengamat melihat Super Hornet kalah kelas dengan Su-35. Hanya saja, Super Hornet sudah teruji di medan pertempuran, sedangkan Su-35 belum diproduksi secara massal dan belum teruji. Bagaimana dengan anda? [tyo]
Merdeka
No comments:
Post a Comment